Masyarakat dunia hari ini dihadapkan dengan dua pilihan: sistem demokrasi atau sistem teokrasi, yang pertama produk sekular dan yang kedua produk 'agama'. Karena pilihan ini diberikan oleh kuasa dunia yang memimpin dunia, pilihan ini menjadi polemik di kalangan cendekiawan Muslim. Tamadun Barat yang telah maju, setelah berusaha membebaskan diri dari cengkraman 'agama' (gereja), tentunya akan bangga dengan kejayaannya sekarang dan melihat penyebab kemajuannya adalah berkat keberhasilan sekularisasi di dunia Barat. Pada Hari ini, dalam dunia yang serba serbinya diwarnai dengan materialisme dan dualisme, pilihan ini diberikan atas nama kemajuan dan pembangunan, pihak kedua hanya bisa menerima atau menolak tentunya dengan konsekwensi; menyokong sebagai kawan atau menentang sebagai lawan "you are either with us or you are against us" demikianlah seperti telah diungkapkan oleh George W. Bush ketika melancarkan perang terhadap terorisme.
Pemikiran Barat telah lama dikongkong oleh cara berfikir dikotomis; agama atau sekular, dunia atau akhirat, manusia atau Tuhan. Cara berfikir dikotomis ini lahir akibat daripada dualisme yang merupakan elemen penting dalam sekularisme. Dengan metodologi seperti ini juga Abu Zayd memberi dua alternative kepada umat Islam: al-khit}a>b al-di>ni> (diskursus agama) atau al-khit}a>b al-‘ilma>ni>(diskursus sekular). Dengan segala keburukan yang ada pada diskursus agama (demikianlah digambarkannya) maka bagi beliau pilihan satu-satunya adalah diskursus sekular.[1] Dalam framework berfikir Barat seperti ini tidak mungkin ada jalan keluar daripada dualisme; tidak ada third alternative; tidak ada sistem yang dapat menggabungkan dunia dengan akhirat, agama dengan keduniaan, produk manusia dengan produk Tuhan.
Akibat putus asa dengan pendekatan modernisme yang monolitik ini lahirlah pemikiran postmodernism (pascamodenisme) yang mengkritisi hebat modernisme tetapi meneruskan tradisi sekularisme dan anti-agamanya. Dalam kebuntuan dan kerancuan pemikiran Barat ini, Islam sebenarnya telah lama memberikan penyelesaian atau solusi bagi segala persoalan manusia, tapi sayangnya manusia terlalu angkuh dan lupa diri. Sebenarnya manusia tidak hanya mempunyai dua pilihan; ada banyak pilihan lain yang terbuka untuk dinilai dengan akal yang sehat. Al-Qur’an mendorong manusia berfikir secara lateral dan konstruktif bukan reaktif dan hanya mencari kesalahan ide-ide lain.
Problematika Demokrasi.
Demokrasi mempunyai dua wajah yang berbeda; wajah ideal-ideologis dan wajah real-pragmatis. Sebagai produk sekularisme, demokrasi lahir hasil pergelutan di antara rasionalitas dan kuasa gereja. Akibat pergelutan yang dahsyat dan panjang ini minda bawah sedar masyarakat Barat telah terpatri dengan kesimpulan bahawa pemerintahan agama hanya akan berdampak kemunduran. Bentuk pemerintahan sekular, liberal dan pluralis adalah satu-satunya solusi agar tidak berlaku lagi pemerintahan despotik dan autoritarian. Dan pada kenyataannya sistem politik ini yang telah dibangun oleh pemikir-pemikir politik Barat telah berhasil membangun ekonomi dan sosio-politik masyarakat Barat.
Wajah manis demokrasi terlihat ketika menyuarakan "government of the people, by the people, for the people". Demokrasi yang memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Terjaminnya kebebasan, persamaan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Dan yang paling penting sekali wujudnya pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung-jawab kepada rakyat. Demokrasi menjadi semakin penting dan relevan untuk menghindari pemerintahan despotik, kuku besi, dan otoritarian. Wajah manis inilah yang berhasil menarik minat sebahagian intelektual Muslim untuk mengadopsi sepenuhnya demokrasi Barat.
Akan tetapi tidak sedikit para intelektual yang menyedari bahwa demokrasi sebenar hanya tinggal slogan dan retorika. Terlalu ramai yang tidak menyedari wajah hodoh demokrasi 'the ugly face of democracy'. Ini karena keburukan demokrasi akan hanya terlihat dengan minda yang bersih dari sekularisasi. Kritik pedas terhadap demokrasi ini banyak juga dilaungkan oleh cendikiawan Barat sendiri. Dalam bukunya Reaganism and the Death of Representative Democracy, Walter William seorang professor emeritus dari Universiti Washington, mengatakan bahwa pemerintahan Amerika semenjak zaman Reagan hingga saat ini adalah "Government of the Wealthy, for the wealthy"[2](pemerintahan si kaya untuk kepentingan si kaya) Perubahan nilai dalam demokrasi ini disebabkan adanya sistem lobbi yang memberi peluang bagi kapitalis-kapitalis, yang mayoritasnya Yahudi, untuk menentukan segala kebijaksanaan pemerintah.
Kritikan lebih pedas lagi diutarakan oleh Chomsky, beliau mengatakan bahwa Amerika tidak kurang terorisnya berbanding mana-mana negara yang diklaim sebagai teroris. Karena Amerika berambisi untuk mewujudkan empayar dunia dan semua konspirasi dilakukan untuk merealisasikan "imperial grand strategy"(strategi penjajahan yang besar).[3] Antara konspirasi yang sudah tidak asing lagi adalah konspirasi 11 september yang menjadi lesen perang terhadap keganasan umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Mathias Brockers, penulis Jerman yang berhasil mendedahkan konspirasi Amerika agar dunia percaya ia dilakukan oleh teroris.[4]
Demokrasi mempunyai banyak kelemahan. Sesiapapun yang mengkaji demokrasi secara substantif dan kritis akan dapat melihat kelemahan dan kerancuan dalam sistem ini. Dalam sistem liberal demokrasi, berbanding dengan sistem Islam, terdapat kekaburan otoritas, pada teorinya rakyat berdaulat kedaulatan rakyat. Namun rakyat hanya berdaulat beberapa tahun sekali. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam system demokrasi terlalu banyak slogan yang jauh dari kenyataan, pada kenyataannya kepentingan golongan elit lebih diutamakan berbanding kepentingan rakyat. Wakil rakyat tidak mewakili rakyat tetapi mewakili diri sendiri dan golongan tertentu (pendanan partai). Politik uang dan penipuan (immoralitas) diterima sebagai sebagian dari sistem politik yang sekular.
Terdapat kecendrungan sebagian cendekiawan muslim untuk menerima bahkan mengagungkan dan mensakralkan demokrasi walhal tiada produk manusia yang sempurna bisa ditengarai sebagai kesan inferiority complex. Sebagian yang lain setelah menolak eksistensi politik Islam terpaksa menyerah sepenuhnya kepada produk Barat yang sekular. sebagian intellektual muslim yang mengusulkan garis persamaan antara Islam dengan demokrasi sebenarnya tanpa disadari telah mengambil jalan pintas dan tidak ingin pusing membangun sistem politik Islam. Di indonesia mayoritas intelektual menerima sistem demokrasi liberal tanpa syarat dan kritikan. Nurcholish Madjid, Amin Rais, Syafi‘i Ma’arif, Munawir Syadzali dan Abdurrahman Wahid di antara yang menyuarakan ide demokratisasi Indonesia sepenuhnya mengikuti pemikiran politik sekuler.[5] Bagi Nurcholish, demokrasi Barat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. [6]
Memang demokrasi mempunyai idealisme-idealisme yang sangat baik walaupun tidak sempurna. Akan tetapi pada realitinya demokrasi biasa digunakan untuk mengaburi mata rakyat agar percaya pada pemerintah. Teori yang baik akan tinggal slogan dan retorika kalau orang yang terlibat tidak jujur dan amanah. Perkara yang sama juga bias berlaku pada politik Islam, Islam memiliki dasar-dasar politik yang sangat baik walaupun masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkannya. Teori politik Islam akan kekal menjadi teori dan retorika seandainya keilmuan dan kesadaran umat Islam masih rendah.
Setelah segala apa yang dilakukan oleh negara demokrasi (Amerika) contoh terhadap setiap negara dan masyarakat yang tidak sehaluan dengannya maka apa masih boleh dikatakan negara demokrasi menjamin keadilan dan hak-hak asasi manusia? Rakyat sudah tidak lagi menjadi penentu dan pemimpin bukan lagi mewakili rakyat. Pemerintah yang menggunakan demokrasi sebagai alat untuk berkuasa hanya mewakili dan mendengar dari satu golongan saja, yaitu para kapitalis dan orang-orang yang berkepentingan dari dalam maupun luar negeri.
Tipologi ‘Islam Politik’
Sejak awal lapan puluhan, timbul istilah 'Islam politik', sebagai satu versi Islam yang dicipta oleh golongan ‘fundamentalis’. Muhammad Said al-Ashmawi di antara orang yang mempopulerkan terma ini. Dalam bukunya yang sangat controversial tetapi sebenarnya hanya menyambung ide Ali Abd al-Raziq, beliau menggunakan istilah al-Islam al-Siyasi sebagai Islam bentuk baru yang diada-adakan oleh kaum fundamentalis.[7] Oleh kaum liberal, mengikuti para Orientalis, digambarkan seolah-olah ada banyak versi Islam, karena masing-masing tidak boleh mengklaim Islamnya yang paling betul, maka dikatakan semuanya valid. Ada Islam ritual, Islam sufi, Islam literal, Islam progressif dsb. Islam menjadi subjek yang relatif dan terbuka kepada penafsiran manusia. Tipologi dan kategorisasi seperti ini tidak seharusnya diterima oleh umat Islam.
Namun sayangnya, tipologi seperti ini sudah menular dan mengakar dalam diri intelektual Muslim. Sehingga ia menjadi lumrah dalam diskursus pemikiran Islam kontemporari. Bagi Azyumardi Azra misalnya, beliau punya alasan yang kuat untuk mengkategorikan Islam ritual, Islam kultural, dan Islam politik karena beliau melihat dari sudut sosiologi dan antropologi.[8] Walaubagaimanapun, ini tidak sama sekali menjustifikasikan pelabelan tersebut memandangkan hal ini berkaitan dengan prinsip no-versions dan anti-dikotomi dalam Islam.
Disamping karena hasil olahan Barat, kategorisasi seperti ini tidak relevan langsung dengan umat Islam. Ini karena berbeda dengan agama lain, Islam bukan produk manusia. Dengan pemahaman Islam yang mendalam akan tanpak dengan jelas bahawa Islam tidak memerlukan inovasi untuk memperbaiki dan meningkatkan agama sendiri. Islam yang asli daripada Allah telah sempurna dan sesuai sepanjang zaman. Tinggal lagi persoalannya adalah sejauhmana kita memahami Islam, bukan apa bentuk Islam yang kita inginkan? Kekeliruan ini timbul akibat krisis otoritas. Umat pada umumnya tidak lagi dapat membedakan yang mana rujukan yang sah dan mana rujukan yang perlu ditolak. Ini karena ramai yang berbicara tentang Islam tidak lagi bersandarkan kepada otoritas. Yusuf al-Qaradawi, yang dianggap moderat oleh masyarakat dunia, mengkritik habis-habisan pelabelan Islam politik kepada golongan Islamis. Bagi beliau terma itu dibuat untuk memojokkan umat Islam dan mengasingkan masyarakat dari terlibat dan menyokong perjuangan Islam melalui kaedah demokratis yang sah.[9]
Namun demikian, di kalangan kaum liberal khususnya, buah pemikiran Ashmawi diterima dengan baik walaupun bukunya al-Islam al-Siyasi bukan satu karya yang berdasarkan kajian ilmiah. Ia hanyalah refleksi beliau terhadap situasi dan kondisi Islam di Mesir. Perbincangan mengenai Syari’ah misalnya tidak sama sekali merujuk kepada definisi para pakar Shari’ah. Buku yang tidak mengandungi bibliografi dan catatan kaki (kecuali ayat al-Qur’an dan satu dua buku) tidak pantas dianggap sebagai buku ilmiah dan kajian objektif terhadap Islam maupun pemikiran Islam apalagi menjadi rujukan dalam memahami Islam. Ironisnya, beliau kini dianggap salah seorang guru besar Islam liberal.[10]
Antara Depolitisasi Islam dan Politisasi Islam
Di mesir perdebatan di antara golongan Islamis dan sekularis cukup hangat dan seringkali berakhir dengan tragedi. Tokoh-tokoh sekular walaupun sebagiannya mempunyai latarbelakang agama yang cukup kuat seperti Ali Abd al-Raziq yang menentang keras dikaitkannya Islam dengan politik. Menurutnya, Islam hanya sebuah agama ritual, tidak ada sistem politik dalam Islam. Sistem politik Islam dikatakan rekayasa para ulama di zaman 'pertengahan'. Bagi menjawab kedudukan Rasulullah sebagai pemimpin dan pengasas Negara Islam Madinah, mereka mengatakan bahawa itu hanya satu kebetulan. [11]
Nurcholish Madjid sejak tahun 70an telah menyarankan sekularisasi. Baginya Islam tidak lebih dari sekadar agama seperti agama-agama lain yang wujud di dunia.[12] Atas dasar ini, agama perlu dibedakan dan dipisahkan daripada politik. Oleh karena itu, menurut Nurcholish tidak ada politik Islam, ekonomi Islam pendidikan Islam dsb. Baginya negara hanyalah bagian dari aspek keduniaan yang bergantung sepenuhnya kepada nalar dan masyarakat, sedangkan agama berasal dari alam ghaib yang hanya berdimensikan spiritual dan personal. [13]
Ashmawi, mengikuti jejak langkah Ali ‘Abd al-Raziq, menyatakan bahwa Tuhan menginginkan Islam sebagai agama tetapi manusia menginginkannya menjadi politik (ara>da Alla>h li al-Isla>m an yaku>na di>nan, wa ara>da bihi al-na>s an yaku>na siya>satan).[14] Baginya agama itu universal sifatnya, sedangkan politik itu partikular dan temporal. Maka keduanya tidak mungkin bersatu.
Untuk menjawab keraguan yang ditimbulkan oleh Ashmawi ini perlu diklarifikasikan definisi din atau agama. Nyatanya bagi kaum liberal yang dimaksudkan dengan din dan agama adalah hal yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, maka agama tidak lebih dari sekadar urusan spiritual dan ritual demikianlah dinyatakan oleh para ahli filsafat, antropologis dan sosiologis. Lalu mengapakah Islam harus tunduk kepada kerangka pemikiran yang dibentuk oleh Barat yang sekular. Pada hakikatnya, Islam tidak hanya menyangkut perkara spiritual dan ritual tetapi juga segala bidang kehidupan manusia. Persoalan yang perlu dijawab adalah mengapa Islam harus dibatasi oleh konsepsi dan definisi yang dicipta oleh orang bukan Islam? Tidak mungkinkah Islam dinilai dan dirujuk mengikut kehendak Tuhan bukan keinginan manusia? Dalam framework pemikiran Islam, Islam yang primordial dan universal sifatnya mengatur dan memberi petunjuk pada perkara temporal dan partikular, dengan konsepsi sedemikian ajaran Islam secara hakikatnya membumi dan realistik.
Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni menyedari perbedaan konsep agama dan implikasinya terhadap hubungan antara agama dan politik. Dalam bukunya, Khas}a’is} al-Tashri>‘ al-Isla>mi> fi al-Siya>sah wa al-H}ukm, al-Durayni berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama.[15] Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.[16] Ini sejajar dengan ungkapan Ibn Taymiyyah min a‘z}am wa>jiba>t al-di>n[17] (satu kewajiban agama yang utama).
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang menurut Kurzman adalah salah seorang tokoh Islam Liberal.[18] Beliau mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam.[19]
Memang Rasulullah s.a.w. bukan diutus sebagai pemimpin politik, tetapi sebagai Rasul. Tetapi perlu diketahui konsep kerasulan beliau tidak sebatas menyampaikan mesej Allah (dakwah). Yang paling berat adalah menjadi contoh dan tauladan dalam melaksanakan Islam sebagai cara hidup (way of life). Rasulullah membawa mesej perubahan, karena Islam yang dibawanya Islam yang mempunyai 'civilizing force'. Dalam masa yang singkat, beliau telah berhasil membuat perubahan dan reformasi ketamadunan di mana budaya, pemikiran dan sosio-politik bangsa Arab maju dan gemilang. Semua perubahan ini berlaku karena beliau telah membuat perancangan dan program yang jitu dan bijaksana. Ini dapat dilihat bagaimana beliau berhijrah, membina persaudaraan, membentuk tatanan sosial dan membangun ekonomi, politik, sosial umat Islam di Madinah. Pengkaji-pengkaji politik Islam setuju dengan pendapat prof. Muhammad Hamidullah yang mengatakan piagam Madinah yang dirumus oleh Rasulullah adalah satu perlembagaan pertama di dunia karena ia dicipta di masa dunia diperintah dengan sistem monarki tidak berperlembagaan dan tidak mengenal kedaulatan undang-undang (supremacy of law).[20] Ini tentunya bukan satu kebetulan.
Sistem politik Islam memang sebagian besarnya merupakan ijtihad, al-Qur’an tidak menjabarkan secara detail tentang bentuk pemerintahan, mekanisma dan pelaksanaan lapangan. Tetapi cukup banyak prinsip-prinsip pemerintahan yang perlu menjadi pedoman dalam berpolitik. Dan ini sudah cukup untuk mewarnai sistem politik Islam dan membedakannya dengan sistem politik sekular atau sistem pemerintahan yang despotik, teokratik dsb. Selain daripada prinsip dan garis panduan yang diberikan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, Islam memberi kelonggaran untuk memikirkan sendiri kaedah dan bentuk pemerintahan yang diinginkan sesuai tuntutan zaman. Kelonggaran ini benar-benar mencerminkan dinamika Syari’ah dan rasionalitas Islam. Ia juga sesuai dengan objektif syari’ah untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan manusia.[21] Oleh itu, tantangan para ilmuan Islam adalah untuk membangun teori politik Islam yang berpijak pada kenyataan situasi dan kondisi hari ini tanpa membuang pedoman yang sudah diberikan oleh nas-nas yang qat’i(teks-teks agama yang definitif).
Mungkin perlu dipertanyakan kepada kaum sekularis dan liberal, kalau pemisahan politik daripada Islam diterima mau di kemanakan prinsip-prinsip politik yang dijabarkan oleh al-Qur’an? Seperti kedaulatan Shari‘ah (12:40, 4:65, 5:44), prinsip Syura (3:159, 42:38), prinsip keadilan (4:58, 5:8, 57:25), prinsip kebebasan bersuara dan berpendapat (27:64, 16:125, 10:99), prinsip persamaan (49:13) dan pertanggungjawaban pemimpin (3:104). Di samping ratusan hadis yang menjelaskan banyak perkara yang berkaitan dengan politik. Pemisahan politik daripada Islam, pada akhirnya, bermakna menjadikan Islam agama kerohanian semata dan konsekwensinya pada penganut yang submissif, tunduk kepada apa jua bentuk pemerintahan dan tidak mempunyai visi perubahan. Islam seperti ini tidak ada bedanya dengan agama-agama lain, dan ini bermakna akan sia-sia Allah menurunkan Islam sebagai agama penutup dan rahmat bagi seluruh alam. Sudah tentu Islam yang lemah ini bukan Islam yang dilaksanakan oleh Rasulullah. Karena dengan pimpinan Rasulullah s.a.w. Islam mengubah masyarakat, mencipta sejarah dan membina tamadun yang gemilang. Islam pada masa itu membentuk manusia dan bukan dibentuk oleh manusia, menjadi subjek bukan objek, ya‘lu wala yu‘la ‘alayh.
Kecendrungan sebagian orang menerima depolitisasi Islam adalah akibat daripada cara berfikir dikotomis. Yaitu untuk menolak politisasi Islam maka seseorang perlu menerima 'depolitisasi Islam'. Persoalannya apakah ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan dikotomi ini. Yang jelas umat Islam tidak perlu mempolitikkan Islam hanya semata-mata untuk berkuasa, karena dengan melaksanakan Islam sepenuhnya mereka dengan semula jadi akan memimpin dunia dan bukan dipimpin. Tidak perlu juga menolak hubungan politik dengan Islam karena politik menjadi alat yang sah dan mesti dimiliki untuk melakukan perubahan. Dengan memahami Islam sebagai satu cara hidup yang komprehensif di mana politik adalah satu aspek daripada beberapa aspek yang perlu disesuaikan dengan ajaran Islam maka tidak perlu istilah Islam politik atau Islam ritual dsb.
Adanya politik dalam Islam bukan lesen bagi mana-mana golongan untuk mempolitikkan Islam. Penggunaan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk kepentingan sendiri perlu dihindari.[22] Terjadinya perkara seumpama itu adalah lumrah kefanatikan terhadap ideologi atau agama tertentu. Penggunaan agama biasa dilakukan bukan saja oleh parti Islam yang hauskan sokongan, tetapi seringkali dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan legitimasi dan mandat rakyat. Ringkasnya, umat Islam tidak harus memilih di antara politisasi Islam atau depolitisasi Islam seperti dalam pemikiran liberal.
Mitos Teokrasi Islam
Perdebatan di antara Islamis dan sekularis tentang politik Islam sentiasa bergulir di Mesir, Pakistan dan berbagai Negara Islam lainnya. Di antara tuduhan yang diungkapkan terhadap pendukung politik Islam adalah bahwa system politik Islam adalah sistem teokrasi yang despotic dan authoritarian. Asghar Ali Engineer, seorang lagi pemikir Islam Liberal, menuduh gerakan Jama’at-e-Islami yang dipimpin oleh Mawdudi berusaha mendirikan Negara teokrasi seperti yang telah didirikan di Iran.[23]
Kebencian mereka terhadap teokrasi bisa dipahami, karena sistem tersebut memang sistem yang berdiri di atas legitimasi yang palsu. Klaim kesucian dan kebenaran oleh para pendeta gereja hanya berdasarkan dogma, dan sangat bertentangan dengan logika dan rasional. Nyatanya tidak ada hubungan dan komunikasi antara golongan ini dengan Tuhan. Oleh itu, klaim bahwa golongan clergy ini mempunyai kedua-dua kuasa temporal (politik) dan ecclesiastical (kuasa kerohanian) adalah tidak berasas sama sekali.
Sejarah mencatat pemerintahan teokrasi di Barat pada zaman pertengahan sebagai satu pengalaman pahit yang menghantui masyarakat Barat hingga ke hari ini. Abad ketujuhbelas mencatat penolakan yang keras terhadap otoritas gereja, Pemerintahan teokratik dan despotik gereja selama hampir seribu tahun menjadi pengalaman pahit Barat berada dalam pemerintahan agama. Tak pelak lagi, pengalaman pahit ini membuahkan kebencian masyarakat terhadap agama pada umumnya, dan kebencian terhadap pemerintahan agama (teokrasi) khususnya. Seorang sejarawan renaisans, Gucciardini, pada tahun 1529 menulis:
Tidak ada orang yang lebih jijik pada diri saya selain dari ambisi, ketamakan, dan kejangakan para wakil Tuhan ini. Bukan hanya karena masing-masing di antara mereka ini menjengkelkan, tetapi karena setiap dan semuanya tidak pantas menjadi orang yang menyatakan diri mempunyai hubungan khusus dengan Tuhan….seandainya tidak demikian keadaannya, saya akan membela Martin Luther layaknya membela diri saya sendiri, bukan untuk membebaskan diri saya dari ketentuan-ketentuan yang, sebagaimana umumnya dipahami dan dijelaskan, diajarkan agama Kristen pada kami, tetapi untuk menjadikan sekawanan bangsat ini kembali ke tempat yang semestinya, sehingga mereka bisa dipaksa untuk hidup tanpa peran sebagai wakil Tuhan atau tanpa kekuasaan.[24]
Klaim-klaim kesucian dan kependetaan seperti di atas tidak wujud dalam Islam, maka dari itu ketakutan golongan sekularis dan liberal hanya berdasarkan prasangka. Dalam Islam tidak ada institusi clergy (golongan agama), terma clergy tidak dikenal dalam sejarah Islam. keilmuan Islam terbuka untuk siapa saja. Seseorang itu diangkat menjadi yang berotoritas dalam bidang keilmuan tertentu oleh komunitas ilmuan dan masyarakat. Ulama tidak berkuasa untuk memaksakan ketaatan, memonopoli kebenaran dan mengklaim berbicara atas nama tuhan. Maka dari itu tidak ada yang mensyaratkan seorang imam atau pemimpin negara Islam mestilah dari golongan ulama. Tetapi hanya mensyaratkan mestilah dari orang-orang yang berilmu.
Seandainya bisa dibuktikan adanya ajaran Islam yang sama dengan teokrasi, sebagaimana dalam sejarah kristiani, barulah tuduhan teokrasi terhadap sistem pemerintahan Islam mempunyai asas yang kuat. Tanpa adanya pembuktian tersebut maka kaum sekularis dan liberal telah berlaku tidak adil dan objektif terhadap Islam.
Sudah terlalu biasa pada hari ini Islam disalah tafsir dan dizalimi. Hegemoni tamadun Barat yang areligius menjadikan umat Islam, khususnya pejuang Islam, tersepit dan terisolasi. Usaha westernisasi ini tidak akan berhasil seandainya tidak ada di kalangan intelektual muslim yang mendukung obsesi Barat ini.
Berbeda dengan agama kristen, Islam tidak pernah secara eksplisit maupun implisit mendukung sistem teokrasi. Dalam al-Qur'an titel khalifah Allah diberikan kepada umat manusia yang sanggup mengemban misi tersebut.2:31. Sejarah Islam juga mencatatkan Rasulullah dengan jelas menolak kependetaan yang menjadi ciri kehidupan gereja. Demikian juga Abu Bakar menolak untuk diberikan titel khali>fatulla>h sebaliknya beliau hanya ingin dipanggil khali>fat Rasu>lillah.
Di samping itu, Islam tidak menerima konsep kehidupan suci vis-a-vis kehidupan profan. Golongan agama sebagai orang-orang suci dan yang lainnya tidak suci. Kesucian seseorang tidak diukur dari luaran dan dimana dia berada, bahkan amalannya sekalipun tidak bisa memastikan seseorang masuk surga, karena Allah saja yang tahu apa yang ada dalam hatinya. Kemuliaan disisi Allah diberikan kepada orang yang bertaqwa. Walauapapun profesinya di manapun dia berada selagi dia memiliki ketinggian iman dan taqwa maka dialah orang yang mulia di sisi Allah. Sebaliknya seorang yang menghabiskan umurnya dalam tempat ibadah belum tentu memiliki hati yang bersih dan suci.
Berbeda dengan agama lain, konsep Ibadah dalam Islam tidak terbatas hanya pada amalan ritual akan tetapi merangkumi kehidupan seharian seorang muslim yang menunjukkan keikhlasan dan ketaatannya pada Allah SWT. Dalam Islam tantangan besar seorang muslim bukan mengamalkan amalan tertentu di tempat tertentu akan tetapi bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Amanah ini hanya bisa diemban dengan mengimbangi keperluan rohani dan jasmani, spiritual dan material. Menfokuskan dan menyalurkan seluruh usaha untuk pembangunan spiritual semata hanya akan mengakibatkan kehidupan yang pincang. Demikianlah rahasia mengapa Rasulullah menolak rahba>niyyah (kependetaan) dalam Islam, prinsip ini juga bertepatan dengan mesej yang ingin disampaikan oleh al-Qur'an: “warahba>niyyatan ibtada'u>ha ma katabna>ha> 'alayhim” (dan kependetaan yang mereka ciptakan, sesuatu yang tidak pernah Kami turunkan) (al-Hadid, 57:27, al-A‘raf 7:32)
Dalam tulisannya, Muhammad al-Ghazali bahkan mengkritisi kecenderungan sebagian orang Islam yang mencoba melepaskan diri material dan keduniaan atas anggapan perhiasan dunia itu bisa menghalangnya dari jalan Allah, beliau mengatakan justru untuk berjuang di jalan Allah harta benda sangat penting untuk dimiliki, baginya konsep zuhud yang benar tidak menjadikan hidup kita mundur.[25]
Polemik Islam dan Demokrasi
Dalam menangani isu demokrasi para sarjana Muslim pada dasarnya terbagi kepada dua golongan. Golongan radikal menolak demokrasi atas beberapa alasan utamanya adalah bahwa dalam sistem seperti ini kedaulatan mutlak diberikan kepada rakyat khususnya dalam membuat undang-undang. Ini bertentangan dengan sistem politik Islam yang menuntut kedaulatan mutlak diberikan kepada Allah (al-h}a>kimiyyah lilla>h) dengan menjadikan Shari'ah sumber utama perundangan (supremacy of the Shari'ah). Pengkritik keras demokrasi, seperti Mawdudi dan Sayyid Qutb, setelah menolak demokrasi Barat tidak pula menjadikan teokrasi sebagai bentuk pemerintahan Islam. Qutb menjelaskan bahwa Islam menolak sistem teokrasi yang pernah berlaku di Barat pada era kegelapan. Karna kuasa Tuhan tidak boleh diwakili oleh satu golongan yang mengklaim ada hubungan komunikasi dengan Tuhan.[26] Mawdudi malah mengatakan bahwa Islam berada di tengah-tengah antara keduanya. Oleh itu, kesan dari pengaruh dan dominasi terminologi Barat, beliau mencipta nama baru bagi sistem politik Islam yaitu theodemocracy yaitu campuran dan jalan tengah di antara theocracy dan demokrasi.[27]
Golongan moderat yang diwakili oleh Yusuf al-Qaradawi, al-Ghannushi dan Fathi Osman, menerima demokrasi dengan beberapa catatan. Demokrasi tersebut mesti disesuaikan dengan Shari'at Islam dan tidak menjadikan nasionalisme dan perkauman lebih utama berbanding dengan keIslaman. Golongan ini meyakini pada dasarnya prinsip-prinsip demokrasi telah ada dalam Shari’ah Islam seperti kekuasaan mayoritas, kedaulatan undang-undang, dan pemerintahan perwakilan. Bahkan al-Ghannushi dan Huwaidi menyatakan bahwa sebenarnya Barat telah menghasilkan sistem pemerintahan yang sebagian besar elemennya dicedok daripada khazanah keilmuan umat Islam (seperti juga ilmu kedokteran dan matematik) di Andalusia pada Abad ke 14-15M. Oleh itu tidak ada salahnya umat Islam pada hari ini memanfaatkan kembali hasil eksperimen Barat yang teorinya berasal dari khazanah mereka sendiri.
Apapun kecendrungan sarjana Muslim dalam menghadapi demokrasi, mereka semua berpegang kepada prinsip supremacy of the Shari'ah: bahwa dalam bentuk apapun sebuah Negara Islam itu yang paling penting adalah Shari‘ah mesti berdaulat. Kedaulatan Shari‘ah ini pada prinsipnya akan tidak memberi ruang kepada pemerintahan despotik dan dapat menghapuskan dengan tuntas kezaliman, diskriminasi dan korupsi. Para sarjana Muslim juga setuju bahwa sistem politik Islam amat bertentangan dengan sistem teokrasi. Dalam sejarah Barat pemerintahan teokrasi yang memberikan Gereja kuasa mutlak adalah bentuk pemerintahan yang tidak rasional, anti sains dan anti kemajuan. Sedangkan pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh para Sahabat adalah pemerintahan yang rasional dan mendukung kemajuan dalam bidang apapun. Jadi amat jelas tuduhan musuh-musuh Islam yang menyamakan pemerintahan Islam dengan teokrasi tidak berasas sama sekali. Dalam kepimpinan sayyidina Umar saja terlalu banyak fakta sejarah yang membuktikannya.
*Penulis adalah Alumni ISTAC dan kandidat Ph.D. di tempat yang sama. Beliau bertugas sebagai peneliti di Akademi Kajian Ketamadunan dan Dosen Kolej Dar al-Hikmah, Malaysia. Beliau bisa dihubungi melalui e-mail: muammar_km@yahoo.com.Alamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus menghidupkan JavaScript untuk melihatnya
http://khairaummah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar